Welcome

Welcome.. ^_^ This is my world...

Mei 29, 2010

Cerpen: Naila dan Kenangan


Cerpen ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, itu hanyalah hal yang disengaja… (wkakakakak…)
Mohon maaf jika dalam cerpen ini terdapat kesalahan, karena pengarang hanyalah manusia yang tak lepas dari kesalahan… :D
Selamat membaca…
Naila dan Kenangan
Rating : Remaja
Genre : Romantis
Pengarang : Naikiem
Aku masih ingat hari itu, hari dimana pertama kali aku mengenal sosoknya yang begitu tegar menghadapi keadaan dirinya yang membuatku sangat bersalah. Andai saja kejadian hari itu tidak terjadi, mungkin dia akan baik-baik saja sekarang.

***
Bugh!
“Aw…”
Tak sengaja bola basket mengenai kepala seorang anggota tim cheerleaders. Ku rasa itu sakit.
“Kamu gak papa, La?”, tanya salah satu tim cheerleaders.
Hari itu mereka sedang latihan di pinggir lapangan basket, dan kami sedang main basket di tengah lapangan tempat mereka latihan.
Aku segera menghampiri cheerleaders itu. Aku merasa bersalah karena bola yang ku lempar mengenai kepalanya.
“Aku gak papa kok”, katanya sambil memegang leher belakangnya.
“Hei…, maafkan aku… Aku gak sengaja… Aku benar-benar menyesal…”
“Sudahlah… Lupakan saja, toh aku gak papa…”, katanya sambil menyunggingkan senyum terindah yang pernah ku lihat seumur hidupku.
“Beneran…?”
“Iya…”, dia tersenyum lagi padaku.
Sungguh senyuman yang membuatku terpesona.
“Oke… Kalau begitu aku kembali ke sana…”
Ia mengangguk sambil tersenyum lagi.
Bruk!
Baru beberapa langkah saja aku menjauh darinya, dia pingsan. Aku panik. Kami segera mengangkatnya ke ruang UKS.
15 menit sudah ia terbaring di UKS. Aku yang menungguinya, karena aku yang menyebabkan semua ini terjadi.
“Kau siapa…”, suara itu mengagetkanku.
Ternyata dia sudah siuman.
“Aku… Aku Reza, aku khawatir terjadi apa-apa padamu, karena aku, kau jadi pingsan. Sekali lagi aku minta maaf.”
“Oh… Iya aku ingat, kepalaku berbenturan dengan bola tadi.”
“Karena aku.”
“Sudahlah Reza…, jangan terlalu merasa bersalah seperti itu.”
“Tapi memang ini semua salahku.”
Dia hanya tersenyum.
“Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Iya memang, aku murid pindahan dari Bandung. Baru hari ini aku masuk sekolah.”
“Pantas saja aku merasa tidak mengenalmu.”
Mulai saat itu aku kenal dia. Naila namanya. Kapten cheerleaders di sekolah tempatku sekarang. Dia 1 tahun di bawahku, adik kelasku tepatnya. Dia gadis yang ceria, ramah pada semua orang, dan tentunya cantik. Banyak cowo yang mengagumi kecantikannya. Malahan aku dengar dia memenangkan pemilihan cewe tercantik di sekolah yang di laksanakan oleh OSIS, ada-ada saja acara seperti itu, batinku. Itulah yang membuatku penasaran dan tertarik untuk mengenalnya lebih jauh.
Di kantin kulihat dia dan teman-temannya ngobrol.
“Woy Reza, kau sedang memperhatikan Naila ya…?”
Anak yang satu ini selalu menyapa dengan tiba-tiba, untung saja jantungku masih kuat.
“Apa sih, Dit. Orang lagi makan gini dibilang lagi perhatiin orang, emang aku kurang kerjaan apa?”, kataku panjang lebar pada Adit.
Adit teman pertamaku disekolah ini. Anaknya gokil, ceplas-ceplos kaya cewe kalo lagi marah-marah, dan tentunya baik hati.
“Ala, bilang aja kamu suka kan sama Naila.”
“Gak, siapa bilang.”
“Kan barusan aku yang bilang.”
“Gak bener kok.”
“Ah masa…???”
“Iya…”
“Ku dengar-dengar Naila masih jomblo lho!”
“Hah yang bener?”, kataku antusias, “berarti masih ada kesempatan donk”, lanjutku.
“Kesempatan apa?”
“Untuk mendekati dia.”
“Tuh kan ketahuan kamu suka sama Naila.”
“Sialan kamu, Dit.”
“Hahaha…”
Kami segera berlari ke dalam kelas, mendengar bel tanda jam istirahat telah usai.
Ini kali pertama aku belajar disekolah ini. Aku duduk disamping Adit. Ku lihat ia sedang disibukkan dengan bukunya.
“Dit.”
“Hm…”, masih dengan menatap buku yang ternyata adalah novel Sherlock Holmes, novel detektif favoritnya.
“Naila itu orangnya kaya gimana sich?”
“Berani bayar berapa kalau aku bilang”, ia menatapku tajam, seolah ingin mencengkaramku layaknya serigala.
“Biasa aja donk tatapannya, jangan kayak vampire haus darah gitu.”
“Hehe, sorry teman. Lagi asik baca nich, kasusnya sudah mulai terbongkar. Sherlock Holmes sudah mulai menemukan titik terang tentang siapa pencuri berlian itu, ia menemukan beberapa…”
“Oke oke…”, potongku, “aku ingin dengar tentang Naila, bukan tentang Sherlock Holmes”, lanjutku kesal.
“Kapan kamu bilang gitu?”
“Ah, kamu gak asik.”
“Oke lah teman”, katanya sambil cengengesan gak jelas.
“Trus, apa yang mau kamu tau tentang Naila?”, lanjutnya.
“Semua.”
“Gila aja, kamu kira aku bapaknya.”
“Berarti yang kamu tau aja, apa susahnya sich?”
Adit mulai bercerita tentang Naila, sampai-sampai guru yang sedang menjelaskan di depan kelas tak kami hiraukan.
Esok harinya aku sengaja menunggu Naila di depan gerbang disekolah.
“Hai Naila.”
“Reza”, aku tak menyangka dia ingat namaku, padahal baru satu kali kami bertemu,
“sedang menunggu siapa?”, lanjutnya.
“Kamu…”
“Aku…?”
“Becanda… Cuma pengen berdiri disitu aja”, kataku berbohong.
Kami pun melangkah memasuki sekolah.
“Kau sudah baikkan?”, tanyaku sambil berjalan.
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Tangan, kaki, mata, telinga, masih utuh.”, ujarnya dengan tawa kecil.
“Ya, aku bisa melihat kalau kau tidak lumpuh gara-gara bola basket.”
Kamipun tertawa.
Tawa yang membuatku teringat padanya setiap waktu.
“Oh ya, ku dengar tim basket kekurangan anggota karena ada yang mengalami patah tulang. Ku harap kau bersedia menggantikannya untuk pertandingan akhir bulan ini.”
“Aku?”
“Iya. Kau bisa main basket kan? Kemarin permainanmu bagus.”
“Tentu saja. Tapi…”
“Aku akan beritahu kapten basketnya nanti. Oke.”, katanya dengan senyum yang ku suka.
Aku hanya mengangguk.
“Sampai jumpa ya.”, lanjutnya.
Sejak siang itupun aku bergabung dengan tim basket sekolah kami. Dan karena itu pula aku jadi semakin sering bertemu dengan Naila. Itulah yang membuatku bersemangat.
Semakin hari aku semakin dekat dengan Naila. Hingga suatu hari, sepulang latihan aku berniat mengajaknya ke taman belakang sekolah, bermaksud untuk menyatakan cintaku padanya. Tapi, entah kenapa sore itu ku lihat wajahnya sedikit pucat.
Aku memperhatikan mereka latihan saat kami beristirahat dari latihan basket. Ku lihat saat itu Naila seperti kehilangan keseimbangan saat melakukan salah satu gerakan. Wajahnya jadi semakin pucat. Dia jatuh begitu saja tanpa sebab.
“Kenapa, La?”
“Gak papa, Cha. Mungkin aku sedikit capek aja.”
“Mukamu pucat, La.”, sambung Icha sahabat Naila.
“Aku beneran gak papa.”
Aku melihat kebingungan di wajahnya.
Dia masih sempat tersenyum dengan keadaan seperti itu.
Aku segera menghampiri mereka.
“Oke semuanya, hari ini sampai di sini dulu ya”, kata Icha.
“Tapi Cha, sedikit lagi gerakan kita hampir selesai”, bantah Naila.
“La, kamu capek, kita semua capek, jangan dipaksakan donk. Nanti kita juga yang susah kalau di antara kita staminanya drop saat pertandingan. Paham?”
“Iya, iya bu dokter.”, ujar Naila menanggapi sahabatnya yang memang bercita-cita ingin jadi dokter itu.
“Wuu, dasar kamu, La.”
Rencana ku batalkan melihat Naila seperti itu, dia langsung pulang usai latihan. Masih ada hari lain untuk mengatakannya pikirku.
Semakin hari kejadian seperti sore itu semakin sering terjadi, aku semakin khawatir melihat semua itu. Hingga suatu hari Naila benar-benar pingsan ketika sedang latihan. Naila dibawa ke UKS. Ia segera siuman setelah diberi wangi-wangian di hidungnya.
“Icha…”
“Naila, kamu jangan bangun dulu”, cegah Icha yang melihat Naila ingin duduk.
“Dokter sebentar lagi datang”, lanjutnya.
“Kenapa harus panggil dokter segala, aku kan cuma pingsan, Cha.”
“Dengar ya, La. Kamu sudah sering kaya gini, keseimbangan tubuhmu goyah saat latihan, dan mau jatuh tanpa sebab yang jelas, kami gak mau terjadi apa-apa sama kamu.”
“Tapi…”
“Reza yang menelpon dokter. Ayahnya sendiri. Dia sangat khawatir, La.”
“Reza…?”
“Dia diluar, sejak tadi tidak beranjak dari tempatnya berdiri sekarang. Aku rasa dia menyukaimu”, sambil tangannya mencolek pipi Naila.
“Icha…”, muka Naila menjadi merah mendengar itu.
“Naila sudah siuman?”, tanyaku dari depan pintu.
“Reza. Iya, Naila sudah siuman, masuklah, kami gak menggigit kok.”
Kami bertiga pun tertawa.
Akhirnya ayahku datang.
“Bagaimana keadaannya?”, tanya ayahku.
“Sejauh ini dia baik-baik saja, Dok.”, ujar petugas UKS sekolah.
“Akan aku ambil alih.”
“Silakan. Kalau begitu saya tinggal dulu ke ruang kepala sekolah.”
Hanya tinggal aku, Naila, Icha dan ayahku di ruang UKS.
“Naila… Bagaimana perasaanmu?”
“Aku tidak merasakan apa-apa, Dok.”
“Jangan bohong, La”, potong Icha.
Naila seketika cemberut.
Ayahku hanya tertawa kecil melihat kelakuan mereka.
Naila menjelaskan semua keluhannya akhir-akhir ini.
“Baiklah Naila. Aku beri surat rujukan untuk tes laboratorium di rumah sakit. Datanglah bersama orang tuamu.”
“Harus bersama orang tua, Dok?”
“Tentu saja sayang.”
“Tapi aku gak papa kan, Dok?”
“Iya. Dan untuk memastikannya, datanglah ke rumah sakit. Oke.”
“Ya, aku pasti ke sana dan akan ku tunjukan pada kamu, Icha, Reza”, sambil matanya mendelik ke arah aku dan Icha, “kalau aku baik-baik saja”, lanjutnya.
“Aku perlu bukti”, kata Icha.
Hari itu berakhir dengan senyuman.
***
Naila tiba di rumah sakit bersama kedua orang tuanya.
“Siang, Dok.”
“Naila. Silakan duduk.”
Kedua orang tuanya pun bersalaman dengan dokter yang akan melakukan tes laboratorium yang tak lain adalah ayahku sendiri.
“Baiklah Naila. Sebelum kita melakukan pemeriksaan, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
Naila kelihatan bingung.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada anak kami, Dok?”, tanya ayah Naila.
“Akan segera kita ketahui, Pak.”
“Hm… Sejak kapan kamu merasa hilang keseimbangan saat melakukan sesuatu, Naila?”
Wawancara ayahku dengan Naila berakhir, dan dilanjutkan dengan ronsen kepala Naila.
Sambil menunggu hasil ronsen, Naila dan kedua orang tuanya disuruh menunggu di ruang tunggu. Kebetulan hari itu aku sedang di rumah sakit. Ku sapa dia.
“Naila.”
“Reza, sedang apa kau di sini?”
“Cuma ingin bertemu dengan ayahku saja.”
“Oh.”
Ku lihat sekeliling, tak ada orang lain selain Naila.
“Kamu sendirian?”
“Tidak, aku bersama orang tuaku.”
“Mana mereka?”
“Ayahku sedang ke kantin, ibuku ke toilet”, katanya sambil tersenyum.
Suasana jadi hening. Ku lihat Naila jadi salah tingkah. Akupun merasa tidak enak. Kami diam dan tak bersuara lagi, seolah tak saling kenal.
“Naila”, ayahnya datang.
Keadaan yang sangat menguntungkan. Kalau ayahnya tidak datang, entah sampai berapa lama kami membatu seperti es di cuaca yang panas ini.
“Ayah, kenalkan dia Reza, putra dokter Fikri”, katanya saat melihat wajah kebingungan ayahnya.
“Reza, Om.”
“Indra.”
“Nona Naila”, panggilan suster mengagetkan kami, “silakan masuk”, lanjutnya.
“Baiklah, Reza, kami masuk dulu”, ayahnya pamitan padaku.
“Iya silakan, saya juga mau pulang sekarang.”
Mereka masuk keruangan ayahku.
“Bagaimana, Dok?”, tanya ayah Naila.
“Begini, Pak”, kata ayahku dengan nafas berat, seperti akan terjadi sesuatu dengan Naila.
Ia melanjutkan penjelasannya.
“Setelah dilakukan pemeriksaan, di otak kecil anak Anda terdapat tumor. Awalnya itu adalah tumor jinak, dan karena suatu sebab tertentu tumor itu berubah menjadi tumor ganas yang berakibat menurunnya fungsi otak kecil.”
“Maksud dokter?”, tanya ayah Naila belum paham.
Ayahku kembali menghela nafas.
“Kejadian seperti ini memang jarang sekali terjadi. Otak kecil mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan tubuh dan posisi tubuh. Menurunnya fungsi otak kecil akan mengakibatkan seseorang lumpuh, bahkan mungkin meninggal.”
Suasana menjadi hening. Ayah dan ibu Naila saling pandang, sedangkan Naila sendiri terpaku mendengar penjelasan dokter.
“Tumor jinak ini berubah menjadi tumor ganas bisa disebabkan oleh benturan benda keras di kepala belakang bagian bawah”, lanjut ayahku.
Naila tertunduk mendengar semua yang dikatakan oleh ayahku.
“Apa anak Anda pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan terbenturnya kepalanya, Pak, Bu?”, tanya ayahku kemudian.
“Tidak pernah, Dok. Bahkan kecelakaan kecilpun tak pernah di alami oleh Naila”, ucap ayahnya.
“Benar, Dok”, ibunya mengiyakan.
“Baiklah, berarti…”
“Pernah”, potong Naila.
Semuanya pun memandang kearahnya.
“Kepalaku pernah terbentur bola basket”, lanjutnya.
“Kenapa kamu tidak bilang, sayang?”, tanya ibunya.
“Ku kira tidak apa-apa, aku juga tidak merasakan sakit yang lama.”
“Sekarang kita tahu penyebabnya”, kata dokter.
Hari terus berjalan. Dua hari sudah ku ketahui Naila tidak masuk sekolah. Aku berniat menjenguknya sepulang sekolah hari ini. Ternyata Naila sudah kembali sekolah hari ini, dan ku dapati ia ceria seperti biasanya. Entah apa yang terjadi di rumah sakit saat itu. Ayah juga tidak menceritakan apa-apa saat ku tanya.
Ku temui Naila didepan madding sekolah.
“Hai, Naila.”
“Reza.”
“La, aku mau ke toilet dulu. Yuk, Cha temani aku,” kata Tita.
“Yuk. Aku juga pengen pipis nich, kebelet”, ujar Icha.
“Tinggal dulu ya, La.”, lanjutnya.
Sepertinya mereka tahu aku ingin berdua saja dengan Naila.
“Aku ingin bicara padamu”, kataku memecah keheningan.
Aku mengajaknya ke taman belakang sekolah yang di tumbuhi bunga-bunga indah yang sedang bermekaran, ilalang yang tak terlalu tinggi melambai ditiup angin kala itu. Aku ingin saat aku menyatakan cinta padanya, ia akan mengingatnya seumur hidup, dan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.
“Ada apa, Za?”, tanyanya ketika kami sampai.
“Aku ingin kau jadi pacarku,” saking gugupnya aku, aku langsung mengatakan hal itu.
Ku lihat dia tersenyum dan tertunduk. Aku melihat ada sinyal hijau dari senyum itu.
“Maafkan aku kalau tiba-tiba mengatakan seperti itu. Aku benar-benar gugup, dan tak tahu harus memulainya dari mana”, lanjutku.
Untuk beberapa saat kami hanya diam. Ia kemudian melangkah perlahan ketengah ilalang.
“Aku tidak bisa, Za. Maafkan aku”, ucapnya memecah keheningan diantara kami.
“Apa…? Tapi kenapa…?”, tanyaku tak percaya.
Naila hanya diam dan memandangku dengan matanya yang sendu.
“Ku kira kau juga menyukaiku, makanya aku berani mengatakan hal ini karena aku benar-benar menyukaimu saat pertama kali aku melihat kau tersenyum padaku”, lanjutku.
“Maafkan aku, Za. Tapi aku benar-benar tidak bisa”, katanya sambil menundukan kepala seperti ada yang disembunyikannya padaku.
“Kau menyukai orang lain?”, tanyaku.
“Tidak.”
“Kau benci padaku?”
“Tidak.”
“Di larang orang tuamu pacaran sebelum lulus sekolah? Tenang saja, aku akan menunggu.”
“Tidak.”
“Lalu apa…?”, tanyaku agak kasar padanya.
“Karena aku benar-benar tidak bisa, Za”, lirihnya.
“Oke, aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi tolong jelaskan apa alasanmu.”
“Aku… Aku tidak bisa…”, dia pergi begitu saja dengan wajah kebingungan, sama bingungnya denganku.
Malamnya aku berusaha menghubunginya.
“Maaf Reza, Naila tidak mau bicara padamu, ibu sendiri tidak tahu alasannya”, kata ibu Naila dari seberang sana.
“Baiklah aku mengerti. Tolong sampaikan pada Naila, aku hanya ingin mengetahui alasannya”, ucapku sebelum menutup telepon
“Kau bertengkar dengan Naila, Za?”, tanya ayah yang rupanya mendengarkan pembicaraanku ditelepon.
“Tidak. Tapi mungkin dia marah padaku.”
Dan akupun menceritakan kejadian siang tadi pada ayah. Semuanya.
“Mungkin dia hanya tidak ingin mengecewakanmu”, kata ayah.
“Aku lebih kecewa saat dia menolakku.”
“Mengertilah keadaannya, Za.”
“Aku mengerti dia membenciku sekarang.”
“Jangan berburuk sangka seperti itu. Mungkin dia hanya ingin kau berbahagia dengan wanita lain yang lebih sehat.”
“Aku…”, kata-kataku terpotong, aku diam sesaat berusaha mencerna perkataan ayah.
“Tunggu, apa maksud ayah dengan ‘wanita yang lebih sehat’. Memang Naila sakit apa?”, tanyaku penasaran.
“Sepertinya kau memang harus tahu, Za.”
“Jelaskan padaku, yah.”
“Sebenarnya Naila meminta untuk merahasiakannya. Tapi, ayah rasa ayah harus menceritakannya padamu agar tak terjadi kesalah pahaman.”
Ayahpun menceritakan semua tentang penyakit tumor otak Naila. Dan juga mengatakan kalau tumor itu mulai muncul saat kepala Naila terbentur bola basket. Aku ingat, itu karena ulahku dulu. Aku tidak menyangka akibatnya akan seperti ini. Maafkan aku Naila.
Keesokan harinya aku menemuinya lagi. Tapi dia berusaha menghindar.
“Naila, izinkan aku bicara sekali lagi padamu”, aku menahannya.
Aku memandang Icha dan Tita yang bersamanya.
“Baiklah kami akan pergi”, kata Icha seolah mengerti apa maksudku.
Aku menarik tangannya, ku ajak kembali ke taman belakang sekolah.
“Apa kau akan mengatakan hal yang sama?”, tanyanya.
“Ya.”
“Aku juga akan menjawab dengan hal yang sama seperti kemarin.”
“Aku belum mengetahui alasanmu.”
“Aku tidak tahu alasannya apa. Pokoknya aku tidak bisa.”
“Apa karena tumor otak itu?”
“Dari mana kau tahu?”, tanyanya heran.
“Kalau kau memang tidak menginginkan aku menjadi pacarmu, aku terima. Tapi, izinkan aku menebus semua kesalahanku.”
Kami hanya diam. Naila tiba-tiba menangis, dan tertunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Segera ku raih kepalanya, ku sandarkan ke dadaku. Ku dekap dia.
“Menangislah di dadaku”, ucapku.
Dia terisak dalam dekapanku. Aku seolah merasakan apa yang dia rasakan. Pasti sangat sulit menerima kenyataan bahwa hidup kita tak akan lama lagi.
“Aku menyukaimu, dan aku ingin bersamamu. Tapi aku juga tidak ingin melihat kau kecewa dan tak bahagia nantinya”, ucap Naila masih dengan airmata yang mengalir, dan masih dalam dekapanku.
“Hanya dengan bersamamu aku akan bahagia”, ucapku.
“Tapi hidupku tidak akan lama lagi.”
“Kalau begitu, izinkan aku mengisinya dengan kebahagiaan yang akan kukenang nantinya saat kau telah pergi.”
“Aku tidak kuat menghadapi semua ini, Za.”
“Izinkan aku menjadi kekuatanmu menghadapi semuanya.”
***
Akhir bulan Mei. Hari ini perlombaan cheerleaders antar sekolah di kota kami. Aku yakin tim Naila akan memenangkan lomba. Aku menemui Naila di ruang hias. Ku lihat ia sedang memandang tubuhnya di cermin. Menatap kaki dan tangannya dengan mata sendu. Ku hampiri dia.
“Kau pasti bisa”, ucapku sambil mengecup keningnya sebelum mereka beranjak ke lapangan tempat perlombaan dilaksanakan. Dia memelukku sesaat.
Di lapangan, giliran tim Naila. Tampil sangat memukau. Aku bangga padanya. Dengan keadaan yang seperti itu, dia tetap menampilkan semuanya dengan sempurna.
Naila tiba-tiba pingsan usai penampilan. Kami segera membawanya ke rumah sakit.
Seperti biasa, dia tetap tersenyum saat siuman.
Ayah mengajakku dan kedua orang tuanya bicara.
“Kemampuan otak Naila sudah sangat lemah”, kata ayahku tiba-tiba, “dia harus segera menjalani terapi”, lanjutnya.
“Tapi Naila tidak mau, Dok”, ucap ayahnya.
“Bahkan sudah kami paksa”, sambung ibunya.
“Dia bilang, biarkan seperti ini. Kami juga tidak mengerti ‘seperti ini’ itu maksudnya apa.”, lanjut ibunya.
“Naila pernah mengatakan sesuatu, kalau dia ingin menikmati sisa hidupnya tanpa bantuan apapun seperti terapi”, kataku.
“Anak kami memang keras kepala, Dok.”
“Lalu apa tindakan Anda selanjutnya?”, tanya ayahku.
“Biarkan semua sesuai keinginannya, mungkin itu akan membuatnya pergi dengan bahagia”, kata ayah Naila dengan nafas berat.
“Tapi, yah.”
“Itu yang terbaik untuk anak kita, bu.”
“Baiklah kalau memang begitu keputusan Anda. Tapi tetap pantau dia.”
Mendengar keputusan itu, aku berjanji dalam hatiku akan selalu menjaga Naila. Menjadi kakinya, tangannya, bahkan tubuhnya sekalipun aku bersedia.
Semakin hari dia semakin lemah, bahkan sekarang dia sudah menggunakan kursi roda. Dia tidak mampu lagi untuk berjalan dan menggerakan tangannya dengan sempurna seperti dulu.
Setiap pulang sekolah aku mengajaknya ke taman belakang. Kami menghabiskan waktu lama di situ, sampai memang Naila yang menginginkan pulang.
Dia memintaku mengumpulkan foto-fotonya sebelum ia seperti sekarang. Foto-foto saat di kelas bersama teman-temannya, bersama tim cheerleaders, dan bersama semua penghuni sekolah. Ku penuhi keinginannya. Semuanya tersimpan dalam album foto yang ku beri nama ‘Kenangan untuk Naila’, dia tersenyum saat melihatnya. Setiap hari, itulah yang ia bawa saat kami ke taman belakang sekolah.
Tahun ajaran telah usai. Seperti biasa, akan dilaksanakan Prom Night setelah kelulusan di umumkan. Aku mengajak Naila ke pesta itu.
“Kau yakin akan mengajakku”, tanya Naila tidak yakin.
“Tentu saja, kau pacarku, kenapa aku harus mengajak yang lain?”
Dia pun tersenyum, senyuman yang akan selalu ku kenang.
“Aku ingin berdansa denganmu.”
“Oke, aku bersedia melayaninya”, ucapku sambil tersenyum.
Malamnya, ku jemput dia. Dia sangat cantik malam itu, mengenakan gaun ungu dengan pita pink di dada sebelah kiri, sangat serasi dengan kulitnya yang putih bersih.
Kami tiba di tempat pesta beberapa menit kemudian. Ku dorong kursi rodanya memasuki ruangan. House music memenuhi ruangan. Segera ku bawa Naila ke luar menuju panggung yang berhiaskan bunga-bunga yang indah dan lampu warna-warni layaknya bintang-bintang malam, serta di iringi dengan lagu romantis, suasana yang sangat cocok untuk berdansa bersamanya.
“Maukah kau berdansa bersamaku?”, ucapku sambil menyodorkan tangan kananku.
Tanganku di sambut olehnya.
“Tentu saja.”
Dia berusaha berdiri.
“Kau mau berdiri?”, tanyaku heran.
“Tentu saja. Bagaimana berdansa kalau tidak berdiri.”
“Tapi…”
“Aku bisa, sayang. Kamu percaya, kan?”
“Aku selalu percaya padamu.”
Kamipun berdansa, meskipun agak sulit baginya, tapi dia tidak menyerah.
Tak lama, tiba-tiba dia lunglai, aku berusaha menyangganya, dia jatuh dipangkuanku.
“Naila.”
“Reza, aku benar-benar sangat bahagia malam ini”, ucapnya lirih.
“Kita ke rumah sakit ya”, kataku sambil ingin mengangkatnya.
“Tidak…”, dia menahanku.
“Biarkan aku di sini menghabiskan malam bersamamu.”
“Tapi…”
“Please…”
“Baiklah. Tapi tidak ditempat ini, kita ke taman”, aku tak kuasa menolak permintaannya.
Ku gendong dia menuju taman yang tak jauh dari panggung. Kami menikmati bintang malam itu. Hanya berdua, dengan suasana yang sangat romantis.
“Reza, aku sangat bahagia”, lirihnya
“Aku juga sayang.”
“Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu”, ku kecup keningnya.
Kepalanya bersandar di pundakku. Ku rangkul dia.
Tak lama, ku rasakan nafasnya tak berhembus lagi. Aku panik. Aku segera membawanya ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, Naila segera di tangani oleh dokter.
Aku, kedua orang tua Naila dan Icha menunggu di ruang tunggu. Aku merasa telah berjam-jam kami menunggu. Akhirnya dokter keluar, dia menyampaikan berita buruk yang selama ini ku takutkan.
***
Naila telah tiada, meninggalkan kami semua dengan kenangan indah tentangnya. Aku bahagia telah diberi kesempatan untuk mengenal dan bersamanya.
“Semoga kau tenang di alam sana, Naila. Bunga-bunga ini akan mengantarmu ke taman yang lebih indah. Tunggulah aku di taman itu”, ucapku dalam hati sambil menaburkan bunga di pusarannya saat pemakaman.
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar